Pengertian Pendidikan Inklusi, Isu dan Kendalanya

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang menambahkan peluang kepada semua peserta didik yang miliki kelainan dan miliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk ikuti pendidikan atau pembelajaran didalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama bersama dengan peserta didik pada umumnya. [1]

Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang meyakinkan “setiap warga berhak beroleh pendidikan”; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2) yang meyakinkan “setiap warga ank a kudu ikuti pendidikan basic dan pemerintah kudu membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang meyakinkan “setiap warga negara mempunyai hak yang mirip untuk beroleh pendidikan yang bermutu”. Undang-undang inilah yang menjadi bukti kuat kehadiran pendidikan inklusi ditengah masyarah.

Pada pendidikan dasar, kehadiran pendidikan inklusi kudu mendapat perhatian lebih. Pendidikan inklusif sebagai fasilitas pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus (ABK) studi bersama dengan anak normal (non-ABK) umur sebayanya di kelas ank ar/biasa yang terdekat bersama dengan area tinggalnya. Menerima ABK di Sekolah Dasar terdekat merupakan mimpi yang indah yang dirasakan orang tua yang miliki anak bersama dengan keperluan khusus.

Sayangnya, SD Inklusi yang udah “terlanjur” terima tidak segera bersama dengan mudahnya menanggulangi anak-anak yang sekolah bersama dengan keperluan khusus itu. Kurikulum kudu sanggup sesuai bersama dengan kelas yang heterogen bersama dengan karakteristik ABK dan regular. Guru belum siap untuk menanggulangi anak-anak dikelasnya bersama dengan karakteristik yang berbeda. Akhirnya, guru-guru yang berhadapan segera bersama dengan ABK di kelas mengeluh dan susah untuk mengajar satu metode yang mirip dan bersama dengan perlakuakuan yang mirip agar obyek pembelajaran tidak tercapai layaknya yang diharapkan. Pengembangan kurikulum sanggup ditunaikan sebagai usaha menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan obyek pembelajaran sanggup tercapai didalam pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi di SD belum beriiringan bersama dengan visi pendidikan belum berdasarkan inklusi ethos yang menekankan keragaman dan kesamaan hak didalam beroleh pedidikan. Kurikulum dan metode pengajaran yang kaku dan susah dibuka oleh ABK masih ditemukan pada kelas inklusi. Pengintergrasian kurikulum belum sanggup ditunaikan oleh guru Karena kapabilitas guru yang terbatas. Guru-guru belum beroleh training yang praktikal dan biasanya yang diberikan sifatnya hanya sekedar sosialisasi saja. Wali kelas dan atau guru bidang studi yang kedapatan dikelasnya tersedia ABK masih memperlihatkan sikap “terpaksa” didalam mendampingi ABK menyadari materi.

Isu-Isu Kritis Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar

Saat ini, terhadap pendidikan anak sekolah basic makin banyak kita temui anak bersama dengan kebutuhan khusus (ABK). Kelapa SD daerah Palmerah yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi oleh gugus dan pengawas sekolah mengatakan makin banyak ABK yang dibawa orang ke SD ini. Dari tahun ketahun meningkat 10% jumlahnya.[1] Di daerah Tangerang Selatan ada terhitung SD yang telah mengobservasi angka ABK sejak tahun 2009 dan telah dapat dideteksi terhadap Pendidikan Usia Dini (PAUD).[2] Sekolah reguler bersama dengan orientasi inklusif adalah instansi yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan komunitas ramah, membangun suatu masyarakan inklusi untuk mencapai tunjuan pendidikan nasional. [3]

Berdasarkan difinisi dan turunan berasal dari UU perihal pendidikan Inklusi anak yang tergolong ABK adalah mereka bersama dengan kesusahan belajar, anak lambat belajar, anak bersama dengan ganguan autis, anak bersama dengan problem intelektual, anak bersama dengan problem fisik dan motorik, anak bersama dengan problem emosi dan perilaku, anak berkelainan majemuk dan anak berbakat. [4] Pendidikan inklusif bermakna bahwa sekolah wajib MENERIMA/mengakomodasi seluruh anak, tanpa terkecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau suasana lain, terhitung anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak berasal dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan group anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud bersama dengan one school for all”.

Indonesia menuju pendidikan inklusi secara formal dideklarasikan terhadap tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, bersama dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk buat persiapan pendidikan bagi seluruh anak terhitung difabel. Setiap ABK berhak memperolah pendidikan terhadap seluruh sektor, jalur, model dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). ABK mempunyai hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kapabilitas dan kehidupan sosialnya.

Sejak tahun 2001, pemerintah terasa uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bersama dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta bersama dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat studi dan anak-anak sulit studi sehingga wajib mendapat layanan khusus. Karena masih dalam step rintisan sampai saat ini belum ada Info yang bermakna berasal dari sekolah-sekolah tersebut.

Delapan sekolah di Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser telah menerapkan kelas inklusi untuk anak berkebutuhan khusus (ABK), yang telah terjadi selama dua tahun belakangan ini. Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Tanah Grogot Rusnawati sementara ditemui dikantornya mengatakan kedelapan sekolah basic (SD) selanjutnya diantaranyanya adalah SDN 014 , SDN 08, SDN 020, SDN 07, SDN 019, SDN 05, SDN 026, SDN 024 Tanah Grogot.[5] Namun disanyangkan terhadap tahun ajaran 2016/2017 SDN yang disebutkan menampik menerima ABK bersama dengan alas an tidak adanya guru pembimbing khusus / guru kelas yang mempunyai kompetensi untuk mengatasi ABK di sekolah-sekolah tersebut.

Di Kabupaten Bantul berasal dari total 374 SD, baru 8 SD yang telah menerapkan pendidikan secara inklusif. Mereka menambahkan peluang bagi penderita cacat atau anak berkebutuhan khusus untuk mengeyam pendidikan di sekolahnya, selama IQ-nya dapat mengi kuti kesibukan akademik. [6] Menurut Ketua Paguyuban Penyandang Cacat Indonesia Cabang Bantul, Jayusman, jumlah penderita cacat di Bantul mencapai 9.704 orang yang terdiri berasal dari tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunawicara, dan tunagrahita. Ia berharap penderita cacat dapat mengakses ke pendidikan formal. Masalahnya adalah fasilitas dan prasana belum mendukung menjadi isu utama.

Di sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini mempunyai murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh ke dua ibunya ke kelas I karena rela masuk SLBC lokasinya jauh berasal dari daerah tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh karena itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD Muhamadiyah.[7] Perasaan mereka terlalu senang dan bangga bahwa sesungguhnya anak mereka di terima sekolah. Satu anak nampak berdiam diri dan cuek, sedang satu kembali nampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan senang musik, terhitung ia ramah dan bermain bersama dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka bersama dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi sesuai bersama dengan kapabilitas mereka. Hal yang terlalu perlu disini yang tentang bersama dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat sesuaikan diri bersama dengan baik, senang dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.

Di Indonesia telah dijalankan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 bersama dengan sebagian sekolah reguler yang buat persiapan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada gejala untuk itu, Info perihal pendidikan inklusi tidak nampak kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.

Pentingnya pendidikan inklusi tetap menerus dikembangkan karena miliki kelebihan dan manfaat. Menurut Staub dan Peck (1994/1995) tersedia lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:

  1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
  2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
  3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.
  4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika
  5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK

Kedala – Kendala Implementasi Pendidikan inklusi

Ada beberapa kendala yang ditemukan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusi. Kendala-kendala itu misalnya minimnya fasilitas penunjang proses pendidikan inklusi, terbatasnya ilmu dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi tunjukkan betapa proses pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi proses kurikulum pendidikan umum yang ada saat ini sebetulnya belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang miliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.

Kondisi ini menyadari menaikkan beban tugas yang mesti diemban para guru yang berhadapan langsung dengan masalah tehnis di lapangan. Di satu sisi para guru mesti berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, selagi di sisi lain para guru tidak miliki ketrampilan yang cukup untuk mengemukakan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih keadaan kelas yang layaknya ini bukannya menciptakan proses belajar yang inklusi, justru menciptakan keadaan eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.

Sekolah inklusi yang terjalin langsung de­ngan Angka Kredit sebagai bahan untuk kenaikan pang­kat. Disisi lain, GPK disam­ping bertugas di Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai sekolah induknya, mereka termasuk mesti berkunjung ke sekolah inklusi yang menjadi tang­gung jawabnya. Tidak ja­rang, jarak yang ditempuh tidaklah dekat, berarti tidak sanggup hanya dengan berjalan kaki. Berkaitan dengan perihal berikut tidak dipungkiri mereka mesti me­nge luarkan ongkos perjalanan, perihal ini diharapkan menjadi per­hatian, lebih-lebih berasal dari pe­mangku tugas yang diberi wewenang dalam penye­leng­garaan sekolah inklusi.

Hal lain yang termasuk mesti ja­di perhatian bagi penye­leng­­gara sekolah inklusi ada­lah, penerimaan dan pe­ngakuan warga sekolah ter­ha­dap keberadaan Guru Pem­bimbing Khusus (GPK) di sekolah inklusi. Ke­ha­diran mereka dinan­ti­kan dan di­butuhkan oleh warga seko­lah lebih-lebih guru kelas dan guru mata pelajaran. Mereka dalam bertugas bukan ber­diri sen­diri, namun saling ber­ko­laborasi dalam me­nangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Tidak jarang berjalan mi­sun­derstanding pada pihak sekolah inklusi tentang peran berasal dari Guru Pem­bim­bing Khusus (GPK) di seko­lahnya. Tanggung jawab ter­hadap anak berkebutuhan tertentu dikelasnya selalu dipegang oleh guru kelas, bukan diserahkan sepe­nuh­nya kepada GPK. Melain­kan pada guru kelas dan GPK saling bekerjasama dalam melayani anak berke­butuhan khusus, jadi berasal dari mengidentifikasi anak, me­nga­sesmen anak, sampai kepada menyusun Program Pembelajaran Individual (PPI) bagi anak tersebut. Program Pembelajaran In­di­vidual (PPI) ini kadangkala ju­ga tidak seluruh anak ber­ke­butuhan tertentu mem­bu­tuhkannya. Disinilah GPK berperan yaitu sebagai tem­pat berbagi pengalaman bagi guru kelas dan guru mata pelajaran, gara-gara tidak seluruh guru di sekolah regu­ler menyadari siapa dan bagai­mana menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus serta apa pembelajaran yang di­bu­tuhkan mereka sesuai dengan kekhususan anak tersebut.

Rendahnya peran beru­pa kinerja guru inklusif, dalam perihal ini GPK, guru kelas dan guru mata pela­jaran, diperkuat oleh te­muan penelitian yang dila­kukan oleh Tim Helen Kel­ler Internasional (2011) di beberapa provinsi, keliru satunya Daerah Khusus Ibu­kota Jakarta. Menjelaskan bahwa guru dalam mem­peroleh ilmu dan keterampilan hanya mela­lui program sosialisasi. Da­lam konteks birokrasi pro­gram sosialisasi lebih ditu­jukan untuk persamaan per­sepsi dalam pelaksanaan suatu program daripada peningkatan kompetensi. Artinya guru belum men­dapat bekal kompetensi yang cukup dalam me­nga­jar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada seko­lah penyelenggara inklusi. Sekolah inklusi adalah seko­lah yang beri tambahan ke­sem­patan kepada Anak Ber­kebutuhan Khusus untuk belajar bersama-sama de­ngan anak pada umumnya di kelas yang sama.

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi mesti mendapat dukungan oleh tenaga pen­didik keahlian tertentu da­lam proses pembelajaran dan pembinaan anak-anak berkebutuhan tertentu secara umum. Salah satu tenaga tertentu yang dibutuhkan adalah Guru Pembimbing Khusus (GPK). Dalam Per­men­diknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pedoman Im­ple­mentasi Pendidikan In­klusi, ada 8 (delapan) kom­ponen yang mesti men­da­pat­kan perhatian berasal dari pe­mang­ku kepentingan (stake­holder) sekolah inklusif, yaitu : (1) peserta didik, (2)kurikulum, (3) tenaga pendidik, (4) kegiatan pem­be­laran, (5) penilaian dan sertifikasi, (6) manajemen sekolah, (7) penghargaan dan saksi, (8) pember­dayaan masyarakat. Tenaga Pendidik yang terkandung da­lam point ke tiga adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama men­didik, mengajar, membim­bing, mengarahkan, me­la­tih, menilai, dan menge­valuasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusi.

Tenaga pendidik meli­pu­ti: guru kelas, guru mata pela­jaran, (Pendidikan Agam, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang bertugas mendampingi anak berke­bu­tu­han tertentu dalam pro­ses belajar mengajar di kelas reguler yang berkua­lifikasi Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau yang per­nah memperoleh pelatihan ten­tang penyelenggaraan seko­lah inklusif. Guru Pem­bimbing Khusus adalah guru yang miliki kuali­fikasi /latar belakang pendi­dikan luar biasa yang bertu­gas menjembatani ada masalah Anak Berkesulitan Belajar (ABK) dan guru kelas/ma­pel dalam proses pem­bela­jaran serta melaksanakan tugas tertentu yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya. Subagya (2011).

Dengan demikian, me­ngi­ngat pentingnya peran dan tugas berasal dari Guru Pem­bimbing Khusus (GPK) dalam penyelenggaraan se­ko­lah inklusi, yang men­cakup segala permasalahan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah. Maka pada kewajiban dan hak mereka semestinyalah adanya ke­seimbangan. Sesuatu yang udah seimbang, alhasilnya akan dipetik sesuai dengan yang diharapkan. Dengan adanya anggaran tersendiri bagi Guru Pembimbing Khusus (GPK) sesuai kapa­sitasnya sebagai GPK, maka sekolah inklusi yang sebe­narnya akan terwujud, bu­kan hanya pelabelan dan formalitas semata.[9]

Satu pemikiran pada “Pengertian Pendidikan Inklusi, Isu dan Kendalanya”

Tinggalkan komentar

%d blogger menyukai ini: